BANDARA SENTANI:
Pintu
masuk ke kota Jayapura ada dua
yakni melalui laut dan udara. Pintu masuk via laut ada di pelabuhan Jayapura.
Sementara melalui udara ada di Bandar Udara Sentani. Bandara Sentani berjarak
42 kilometer arah selatan dari pusat kota
Jayapura. Untuk mencapai bandara kita bisa menggunakan kendaraan sewa sejenis
mobil SUV atau taksi (taksi adalah istilah lokal untuk menyebut kendaraan
sejenis angkot atau mikrolet di pulau Jawa). Tarifnya sama yakni Rp.250.000,-
sekali jalan. Oh ya, tarif sewa dari Bandara ke tempat tujuan juga sama yakni
Rp.250.000,- per mobilnya. Mobil-mobil sewaan ini banyak terdapat di bandara
dan biasanya sopirnya dengan sigap langsung menghampiri calon penumpang untuk
menawarkan jasanya. Sementara untuk mendapatkan taksi yang bisa kita sewa kita
tinggal mencegat salah satunya di jalan-jalan dan melakukan tawar menawar
dengans ang sopir. Atau kalau mau aman kita tinggal pergi ke salah satu hotel
dan meminta petugas hotel mencarikan kendaraan sewa untuk kita. Saya
menyarankan bagi pendatang baru memilih cara terakhir karena jauh lebih aman
dan bisa dipertanggungjawabkan.
Apakah
tarif sekian ini mahal?
Tergantung.
Kalau rumah kita dekat dan kita hanya sendirian bisa jadi tariff sekian ini
mahal. Tapi kalau kita adalah bagian dari rombongan besar tarif sekian jadinya
murah. Karena, perlu diketahui, tarif Rp.250.000,- adalah tarif standar untuk
penyewaan mobil sekali jalan. Kalau kita dari bandara ada cara untuk
mengakalinya. Tapi kita harus lebih kreatif alias sedikit tebal muka. Caranya
seperti ini. Begitu turun dari pesawat kita kan
biasanya tak langsung pulang tetapi menunggu sebentar di ruang tunggu sampai
bagasi keluar. Sambil menunggu barang-barang kita dikeluarkan dari perut
pesawat mulailah kita bergerilya menanyai penumpang yang bertujuan mencari
kendaraan sewaan. Kita tanya deh satu-satu mereka kemudian kita tawari siapa
tahu ada yang bersedia berbagi mobil sewaan dengan uang sewa yang kita bagi
rata pula. Syukur-syukur kalau kita bisa dapat lima
orang kan uang sewanya jadi
Rp.50.000,- per orang.
Terakhir
saya melewati Bandara Sentani di tahun 2008 silam. Waktu itu –untunglah- saya
tidak perlu menggunakan jasa mobil sewaan karena Tutik -adik saya yang bermukim
di kota Jayapura- berkenan
menjemput. Begitu turun dari pesawat sudah menunggu sebuah bus yang akan
mengantarkan kita dari pesawat ke ruang kedatangan. Tapi sebenarnya jarak dari
pesawat dan ruang tunggu dekat saja. Tidak seperti saat mendarat di Bandar
Udara Hasanuddin-Makassar atau di Juanda-Surabaya. Saya perkirakan jaraknya
hanya 200 meter. Sehingga sebagian penumpang yang sudah jenuh duduk terus di
kursi pesawat memutuskan berjalan kaki ke ruang kedatangan dibanding berdesak-desakan
di bus penjemput.
Kemudian
inilah yang saya saksikan. Tanda peringatan itu. DILARANG MAKAN PINANG .
Tanda itu tercetak jelas di sebuah plat yang di tempel di salah satu dinding.
Saya terpana dan akhirnya tersenyum geli. Bayangkan ini sebuah bandara
Internasional yang disinggahi baik penumpang domestik maupun turis mancanegara
dan tanda itu terpasang jelas di sini. Memangnya siapa juga yang mau makan
pinang?
Ketika
saya kecil pinang belum menjadi permasalahan sosial. Waktu itu saya tahunya yang
makan pinang hanya ibu, nenek dan kakeknya Babarina –sahabat saya itu- dan
bukan orang-orang yang lebih muda. Tapi ketika kembali menginjakkan kaki di
Jayapura saya melihat ada perkembangan menarik seputar sirih, pinang dan kapur.
Ternyata yang makan pinang melebar jumlahnya. Pengonsumsi pinang yang dulunya
hanya kalangan berusia tua kini menyebar ke kalangan muda dan beberapa
anak-anak. Tidak masalah sih sebenarnya orang makan pinang itu. Ini tak
melanggar hak asasi. Terlebih pinang-pinang itu dibeli dengan uang sendiri.
Yang
jadi masalah itu prosesnya. Pinang , sirih dan kapur kan
tidak ditelan melainkan hanya dikunyah-kunyah saja. Yang jadi persoalan
kemudian adalah limbahnya (Baca: ludah pinang kemerahan di dalam mulut).
Biasanya ludah pinang kemerahan itu diludahkan (habis bahasanya begitu) ke
luar. Sebelnya alias yang bikin jengkel adalah ada beberapa orang yang
meludahkan pinangnya ke bak sampah milik Bandara. Ini juga tidak masalah kalau
meludahkannya tepat di tengah-tengah. Yang jadi persoalan –ini sering terjadi-
kalau meludahkannya sembarangan sehingga bukan hanya bak sampah Bandara yang
berubah menjadi kemerahan melainkan lantai dan dinding di sekitar situ. Jadi
dari pada bikin sebel –dan membersihkan ludah kemerahan itu ternyata sulit
juga- akhirnya Bandara mengeluarkan peraturan itu. Beres sudah.
Bandara
ini penting keberadaannya. Karena bandara ini menjadi penghubung ke
wilayah-wilayah lain di Indonesia. Ada
penerbangan langsung dari Jakarta , Surabaya ,
Denpasar, Manado via Makassar
ke Timika, Sorong, Biak dan Jayapura. Lion Air malah
punya penerbangan langsung dari Jakarta-Makassar-Jayapura ke Merauke. Merauke
adalah kota paling timur di Indonesia
yang diabadikan oleh lagu “Dari Sabang sampai Merauke” itu. Dari Bandara
Sentani kita bisa melanjutkan perjalanan ke wilayah lain di pegunungan Papua
misalnya ke Jayawijaya. Selain Lion Air ada juga pesawat Garuda Indonesia ,
Merpati Air lines, dan Ekspres air yang menyinggahi bandara Sentani. Sementara
ke wilayah-wilayah pedalaman Papua bisa memakai Trigana Air, MAF atau Susi Air
(dua yang terakhir biasa disewa untuk mengangkut perbekalan makanan dan
obat-obatan ke pedalaman Papua. Sebagai keterangan tambahan MAF adalah pesawat
terbang yang dimiliki oleh misonaris Advent yang bisa juga disewa oleh pihak
lain). Para penumpang bisa datang langsung ke bandara
Sentani atau ke biro-biro perjalanan di kota
Jayapura untuk mendapatkan tiket pesawat.
Sejarah singkat Bandara Sentani:
Berbeda
dengan kota Jayapura yang miskin
tanah datar di Sentani sebaliknya. Tanah datar berlimpah di sini. Saya bisa
mengatakan Sentani dan sekitarnya berdiri di atas tanah datar yang luas yang
sejauh mata memandang hanya terlihat lahan kehijauan, bukit kapur berlapiskan
rumput hijau, hutan sagu dan matoa dan langit biru dengan awan-awan putih
berarak di atasnya. Kalau soal langit biru dan awan-awan putih saya tidak
berbohong. Karena seluruh Papua sesungguhnya memiliki angkasa yang bersih serta
kualitas udara yang sama bersihnya. Satu-satunya kekurangannya hanya cuaca
panas. Panasnya tuh panaaas sekali. Ha ha ha.
Tak heran bila pemerintah yang berkuasa di
masa lalu –baik Pemerintah Hindia Belanda maupun Jepang- melirik tempat ini
untuk dijadikan sebuah pangkalan militer. Sebelum membahah berdirinya Bandara
Sentani sebaiknya saya kembali ke tahun 1938 untuk memetasi situasi pada masa
itu. Itu ketika Jayapura belum lagi punya Bandar udara.
Masih ingat ekspedisi Archbold
–ekspedisi Amerika-Belanda- yang datang ke Jayapura untuk melakukan pemelitian
di tahun 1938 silam?
Ekspedisi ini datang dengan sebuah
armada pelayaran besar dengan membawa pesawat “Cuba ”.
Cuba –seperti
yang telah saya tulis di bagian depan adalah sejenis pesawat yang bisa mendarat
di atas permukaan air. Selain itu pemerintah HIndia Belanda pun memiliki
pesawat sejenis yang disebut Dornier.
Waktu itu
pesawat terbang sejenis Cuba
dan Dornier-lah yang cocok mengarungi angkasa Jayapura yang tak punya satu pun
bandar udara. Setahun kemudian -1939- pemerintah Hindia Belanda baru berpikir
untuk membangun sebuah bandara. Pastinya tidak langsung dibangun. Waktu itu
yang dilakukan adalah meratakan sebuah daerah di dekat Ifar (Ifar hanya 10
menit perjalanan darat dari bandara Sentani saat ini) untuk membuat sebuah
bandara.
Keputusan
untuk memiliki bandara sendiri didesak oleh situasi perang pada masa itu. Di
Eropa sedang berkecamuk perang dunia
yang juga melibatkan kerajaan Belanda yang berdampak pada wilayah Pasifik yang
letaknya di belahan bumi yang lain. Sekitar tahun itu Jepang yang mulai
terlibat dalam konflik perang Pasifik mulai masuk diam-diam ke wilayah ini
melalui jalur pelayaran laut. Jepang sendiri telah punya pangkalan militer
resmi di Wewak. Wewak adalah sebuah wilayah di utara PNG (Papua
New Guinea ) yang berada dalam daya jangkau
penerbangan ke Jayapura yang dijadikan pangkalan militer resmi Jepang di sana .
Jepang memilih Wewak karena tempat ini berada di bawah kekuasaan Jerman yang
menjadi sekutu terkuanya dalam perang dunia ke dua. Kongsi dua kekuatan itu
menyebabkan Sekutu (Belanda di antaranya) tak bisa leluasa masuk ke Australia
yang menjadi sekutu kuat mereka di timur. Masalahnya ada bagian Papua yang lain
yang masih berada di bawah kekuasaa asing yakni Belanda. Sehingga Jepang
berpikir untuk bisa menguasai wilayah ini yang membuat jalur pelayaran laut ke Australia
benar-benar terputus.
Pada
tanggal 19 April 1942 kapal-kapal perang Jepang muncul di teluk Humboldt. Pada
waktu itu Hollandia (Nama Jayapura ketika itu) praktis diambil alih oleh Jepang
tanpa perlawanan berarti. Lima hari
kemudian -6 Mei 1942- muncul dua kapal perang Jepang dengan sejumlah mariner
yang ditempatkan di wilayah ini. Sejak saat itu lah secara de facto Jepang menguasai daerah ini.
Jepang
membutuhkan prasarana fisik untuk mendukung persiapan perang Pasifik. Dibantu
sejumlah Romusha (pekerja Paksa) yang didatangkan dari Jawa dan Maluku mereka
membangun jalan, barak-barak di dekat APO saat ini dan jembatan yang salah
satunya terletak di Hamadi juga di dekat teluk Yotefa juga di kaki Pim serta merintis
pendirian tiga lapangan terbang di dekat danau Sentani. Ketiga lapangan terbang
itu mampu menampung 350 pesawat tempur. Sebenarnya pangkalan militer utama
Jepang tetap di Wewak-PNG. Yang di Hollandia rencananya untuk depot logistik di
antaranya untuk menyimpan pesawat tempur, amunisi, sejumlah pakaian dan bahan
pangan. Tak heran ketika akhirnya wilayah ini diambil alih oleh sekutu di tahun
1944 silam tentara sekutu menemukan tumpukan bahan pangan dan pakaian setinggi
bukit. Tapi, pastinya, ketika saya datang ke Jayapura di tahun 1969 silam bukit
pakaian dan bukit makanan (makanan-makanan dan minuman dalam kaleng dan bahan
makanan kering seperti beras serta pil kina dan berton-ton penglengkapan medis
lainnya) sudah tidak ada lagi.
Kembali
kepada tiga bandara Jepang itu. Pada perkembangannya dua dari tiga bandara itu
tak difungsikan lagi oleh penguasa berikutnya yakni pemerintah Hindia Belanda.
Yang benar-benar difungsikan sampai saat ini hanya satu yakni Bandar udara
Sentani. Itulah sejarah singkat berdirinya bandara Sentani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar